Plagiarisme yang Membudaya, Tanda Masih Buruknya Sistem Pendidikan
Sudah
seharusnya Universitas-Universitas menjadi tempat untuk mempersiapkan
mahasiswa-mahasiswanya menjadi seorang akademisi yang memiliki integritas yang
tinggi. Integritas sendiri di dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan
sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukan kesatuan yang utuh sehingga
memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibaaan dan kejujuran.
Sedangkam dalam Kamus Oxford, Integritas diartikan sebagai kualitas seseorang
dalam menjaga dirinya tetap jujur dan memiliki prinsip moral yang kuat. dari
dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari integritas adalah
kejujuran. Salah satu bentuk integritas akademik adalah selalu menghindari
segala bentuk plagiarisme.
Plagiarisme adalah tindakan
disintegritas akademik dimana seseorang mengambil buah pikiran orang lain tanpa
menyebutkan sumber aslinya atau malah mengakuinya sebagai buah pemikiran
dirinya sendiri. Bentuk-bentuk plagiarisme diantaranya adalah mengambil
pemikiran seseorang dan mengubahnya dengan kata-kata sendiri namun tidak
mencantumkan sumber pengambilannya, atau mengcopy kata-kata seseorang tanpa
mengubahnya sedikit pun dan tidak mencantumkan sumber pengambilannya, atau
–yang paling parah mengkui karya orang lain sebagai karya dirinya sendiri.
Namun, bagaimana mungkin sebuah
Universitas mencetak seorang akademisi yang memiliki integritas yang tinggi
jika pimpinan Universitas itu sendiri –yang seharusnya memberikan suri tauladan
yang baik malah melakukan tindakan yang mencoreng sikap integritas dan
mendukung plagiarisme? Sungguh hal itu
sangat disayangkan dan sangat tidak pantas.
Beberapa bulan yang lalu, jagat
pendidikan tinggi dihebohkan dengan berita dipecatnya rektor Universitas Negri
Jakarta yaitu Prof. Djaali. Rektor Unj dipecat karena terbukti mendukung
plagiarisme dengan meloloskan disertasi milik 5 pejabat publik yang terindikasi
plagiarisme karena isinya banyak mengambil dari laman, halaman, dan blog. Selain itu, ada pula disertasi yang memiliki
tulisan yang sama percis dengan 159 sumber di internet, ada pula yang terbukti
menyalin saalah satu buku tanpa menyantumkan judul buku asli dan pengarangnya
pada sumber pustaka, dan masih banyak lagi temuan plagiarisme lainnya yang ditemukan
di UNJ khususnya pada jenjang pasca sarjana.
Kasus di UNJ hanyalah contoh dari
betapa plagiarisme masih menjadi budaya dalam pendidikan tinggi bangsa ini. Hal
ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa hal memalukan ini dapat menjadi
budaya? Jika dilihat lebih luas,
membudayanya plagiarisme tidak terlepas dari masih buruknya sistem pendidikan
tinggi di Indonesia. Hal ini dapat dikatakan karena pendidikan adalah suatu
sistem yang besar yang memiliki banyak sub-sistem yang menyusunnya, maka jika
hasil (output) dari sistem tersebut ternyata buruk, maka perlu dilihat kembali
berbagai sub-sistem yang membentuk sistem tersebut.
Salah satu sub-sistem yang
menyebabkan memburuknya sistem pendidikan dan berakibat kepada lahirnya budaya
plagiarisme adalah keputusan pemerintah yang dimulai sejak masa orde baru melalui
TAP MPR No. IV/MPR/1973 yang mengatur bahwa produksi pengetahuan di Universitas
hanya semata-mata untuk mendukung program pembangunan yang akhirnya merubah
arah penelitian para akademisi kepada penelitian terapan dibanding penelitian
dasar. Akibat yang ditimbulkan dari peraturan tersebut adalah terbentuknya
kultur akademis yang terlalu bercorak birokrasi, karier akademis di banyak
kampus masih ditentukan oleh faktor kedekatan dengan pejabat dan penilaian
kinerja yang birokratis, dan orientasi kerja dosen yang lebih kepada pegawai
pemerintahan dibanding sebagai akademisi.
Sub-sistem lainnya yang harus
diperhatikan adalah sistem penggajian para dosen. Beberapa kampus menggunakan
sistem penggajian dengan melihat seberapa banyak dosen itu mengampu mata kuliah,
akhirnya para dosen berlomba-lomba menjadi pengampu mata kuliah
sebanyak-banyaknya sekalipun bukan bidang keahliannya. Materi yang disampaikan
pun hanya pengulangan dari berbagai materi yang telah disampaikan dari tahun ke
tahun dan bukan dari riset ataupun keahlian. Selain itu beberapa dosen pun
banyak yang dengan mudahnya memberikan nilai kepada para mahasiswanya hanya
berdasarkan penilaian subjektif.
Sub-sistem-sub-sistem itulah yang
menurut akhirnya melahirkan budaya plagiarisme dikalangan perguruan tinggi yang
seharusnya mempersiapkan akademisi-akademisi yang memiliki sifat integritas
yang tinggi. Maka jika kita ingin memberantas budaya plagiarisme sampai ke
akarnya maka kita harus memperbaiki berbagai sub-sistem tersebut. Namun jika
hal itu terbilang sulit, maka kita dapat berusaha untuk mengubah diri kita
sendiri agar menjauhi segala macam hal-hal yang bertentangan dengan prinsip
integritas akademik, karena tidak dapat disangkal, kita pun merupakan
sub-sistem dari sistem pendidikan pula.
Sumber:
Masalah
Serius Plagiarisme dari Kampus ke Kampus. (2017). Diperoleh dari https://www.didaktikaunj.com/2017/08/masalah-serius-plagiarisme-dari-kampus-ke-kampus/
Lestarini,
Ade Hapsari. (Februari 2014). Sederet Kasus Plagiarisme di Kampus. Diperoleh
dari https://news.okezone.com/read/2014/02/25/373/946214/sederet-kasus- plagiarisme-di-kampus
Plagiarisme
Sebagai Masalah Sistem Pendidikan Tinggi Nasional. (2017). Diperoleh dari https://www.didaktikaunj.com/2017/09/plagiarisme-sebagai-masalah-sistem- pendidikan-tinggi-nasiona/
Mudhoffir,
Abdil Mughis. (2017). Plagiarisme di UNJ: persekongkolan akademisi dan politikus. Diperoleh dari https://theconversation.com/plagiarisme-di-unj- persekongkolan-akademisi-dan-politikus-84398
Iya stop plagiarisme
ReplyDeleteMantab bet sih, membantu sekale
ReplyDeleteKalau yg mukanya mirip sama org lain gimana? Masuk plagiarism juga?
ReplyDeletekunjungi kami disini jan Pengiriman Via Cargo
ReplyDelete